Richa's Fans

Minggu, 24 Juni 2012

Curhat

Belajar Itu Butuh Pengorbanan

Cerita ini adalah cerita yang nyata saya alami, 15 tahun lalu. Saat itu saya baru berumur 4 tahun dan belum bersekolah dasar, dan pula saya tidak bersekolah TK .
Dahulu saya masih tinggal di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Saat itu keluarga saya hanya empat, yaitu orang tua saya (ayah) Naswin Rangkuty (36th), dan (ibu) Hermayani (28th), (saya) Rika Gustina (4th), dan (kakak) Febriyani (9th).
Beberapa saat sebelum kejadian itu terjadi, saya baru dibelikan sepeda kecil yang berwarna merah muda dengan dua buah roda yang satu didepan dan yang satu lagi dibelakang, berikut dengan tambahan dua buah roda untuk samping kanan dan kirinya.
Saat itu saya masih belum bisa naik sepeda, dan ayah saya pun mengajari saya dengan kelembutan, ketekunan dan kasih sayangnya kepada saya, agar saya bisa naik sepeda dan bisa naik motor saat saya besar nanti.
Esok harinya saya terus belajar sendiri naik sepeda roda empat saya yang sangat lucu itu. Saya senang karena lama-lama saya sudah hampir bisa belajar sepeda roda empat, esoknya saya pun meminta ayah saya yang sedang didalam rumah menjaga warung, untuk melepaskan satu buah roda sebelah kiri, dan ayah saya pun menyetujuinya dan mulai melepaskan satu buah roda sebelah kiri. Selesai roda itu terlepas saya pun meminta izin kepada orang ayah saya untuk menaiki sepeda mengitari depan rumah saya dengan cadel dan polosnya berkata ”ayah ika mau naik cepedah duyu, yah..! dan ayah saya pun mengizinkannya sambil berpesan ”iya hati-hati Ika, jangan jauh-jauh naik sepedanya,..!
Saya pun meninggalkan ayah saya yang sedang menjaga warung, dan bergegas untuk keluar rumah, dan mulai mencoba menaiki sepada roda empat saya yang kini jadi sepeda roda tiga.
Ketika itu saya ingin bertemu ibu saya, tapi di rumah ibu saya sedang tidak ada, saya berpikir ibu saya pasti sedang belanja ke pasar, karena biasanya hari minggu, pukul 07.00 WIB, ibu saya pasti berbelanja ke pasar.
Pasar Impres namanya, sebuah pasar yang biasa saja, tidak besar, dan kebetulan dekat dengan rumah saya, lalu muncullah ide gila saya saat itu, untuk menyusul ibu saya ke pasar, padahal saat itu saya masih belum terbiasa dengan sepeda roda tiga saya itu. Saya nekat untuk menyusul ibu saya, tanpa berpikir panjang (namanya juga anak kecil, belum tahu bahaya kalau main jauh-jauh).
Lalu saya pun langsung mengayuh sepeda saya menuju pasar.
Saat itu saya melewati rumah nenek tua penjual kerupuk sambal (kerupuk yang diatasnya diolesi dengan sambal terasi, makanan kesukaan saya waktu kecil). Penjual kerupuk sambal tersebut biasa dipanggil Bude Turut (65th) oleh anak-anak kecil, maupun orang-orang dewasa. Kalau dia masih hidup, mungkin sekarang umurnya sekarang sudah 80 tahun, karena saat saya masih kecil saja sudah tua dan wajahnya sudah berkeriput.
Bude Turut pun memanggil saya yang saat itu sedang bersusah payah menggenjot sepeda, dengan pelan dan lembutnya ia bertanya ”Ika, mau kemana ?”, dan saya dengan polosnya menjawab ”mau cucul mamah ke pacal, bude..!”, lalu aku tak menghiraukan bude Turut lagi dan langsung melanjutkan perjalanan saya menuju pasar.
Baru saja saya melewati warung bude Turut, roda sebelah kanan sepeda saya tersangkut semen bagian bawah sebuah tiang listrik, dan bagian sebelah kiri sepeda saya yang rodanya telah dilepas pun akhirnya tidak seimbang, sedangkan disebelah kiri jalan ada selokan, dan Brakkkk ! Alhasil saya jatuh kearah sebelah kiri dan masuk kedalam sebuah selokan itu yang tingginya kurang lebih 1,5 meter dan lebar kira-kira 60 cm.
Saya pun kaget dan akhirnya menangis di tempat.
5 menit saya berada didalam selokan tersebut, tidak ada yang mengetahui saya jatuh disana, karena daritadi belum ada orang yang lewat jalan itu lagi.
Ayah saya pun mulai khawatir, karena sudah 5 menit lebih ayah saya tidak melihat saya mengitari depan rumah saya lagi, tetapi saya belum pulang ke rumah. Ayah saya pun mulai mencari saya ke arah warung bude Turut, karena tidak jauh dari warung bude Turut, ada rumah teman saya Kentar (6th), dan saya sering main kesana.
Ayah saya pun melewati warung bude Turut, dan bertanya kepada bude Turut ”Bude, liat Si Ika nggak?”
Bude Turut menjawab ” Iya, tadi sih lewat sini, katanya mau nyusul mama nya ke pasar..!”.
Ayah saya kaget mendengarnya , dan berkata ”mau nyusul ke pasar?!”
Lalu ayah saya mengalihkan pandangannya dan menatap kejalan arah pasar, dan ayah pun melihat sepeda saya jatuh tergeletak tersangkut dibibir selokan, lalu ayah saya pun mendatangi selokan itu, dan ayah pun melihat saya yang sedang berada di dalam selokan yang kotor, bau, dan banyak belutnya. Betapa jijiknya saat saya membayangkan kejadian 15 tahun lampau itu.
Lalu degan cepat, ayah saya mengambil sepeda saya yang tersangkut di bibir selokan itu, dan segara mengangkat saya naik kedarat.
Ayah saya tidak memarahi saya dan malah langsung memeluk saya yang tengah kotor dengan lumpur akibat jatuh ke selokan tadi, dengan tubuhnya gagah dan kekar itu. Saya pun menangis di pelukan ayah saya. Dan ayah saya pun akhirnya membawa saya dan sepeda saya pulang.
Kami berdua melewati warung bude Turut, bude Turut pun kaget melihat seluruh tubuh saya yang kotor dengan lumpur, dan bertanya ”Ya, ampuuunnnn.... Ika kenapa kok sampai kotor banget kayak gitu?!”
Saya diam saja karena saya masih shok dengan kejadian yang barusan saya alami, akhirnya ayah saya yang menjawab ”Ini lho, bude... Abis jatuh ke selokan sana” seraya tertawa.
Lalu kami pun meninggalkan bude Turut dan warungnya itu, menuju ke rumah.
Dari situ bisa diambil hikmahnya, kalau saya tidak boleh sombong dengan kemampuan saya, dan belajar itu butuh pengorbanan.
Benar, kata slogan sebuah iklan deterjen yang membuat kata ”Kotor itu belajar?”

Sekian kisah saat kecil, kurang lebihnya mohon maaf, dan harap dimaklumi.

Silahkan tinggalkan komentar anda tentang kejadian diatas!

”Terimakasih...!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar