Tidak mudah menjaga apa yg telah kita miliki, meskipun terkadang kita mengingat kembali betapa sulit dan besarnya usaha yg kita lakukan untuk mendapatkan hal tersebut.
Dalam dunia ini tak ada yg tdk mungkin terjadi, karena pepatah bilang dunia itu berputar, kadang kita di atas kadang kita dibawah. Terkadang kita tidak merasa bahagia ketika kita tidak mendapat kemudahaan, lantas kita terus merutuki nasib.
Hal tersebut tidak hanya terjadi dalam dunia karir, namun juga dalam hal percintaan. Pastinya hal tersebut membutuhkan waktu dan hati yg tenang untuk siap dalam posisisi tersebut.
Belum lama ini aku berpisah dengan kekasih ku sebut saja Rangga, yg belum lama sebelum itu terjadi aku telah kehilangan pekerjaanku. Pekerjaan yg telah susah payah kudapatkan, waktu yg telah kurelakan untuk menjalani tugas demi tugas di pekerjaan tersebut.
Delapan bulan lalu aku telah bekerja di sebuah perusahaan yg terbilang bagus. Bagus dengan kategori manajemennya.
Disana aku mendapatkan posisi yg bagus pula. Seiring berjalannya waktu, aku mulai tak bisa mengikuti irama pekerjaan yg telah ku geluti beberapa bulan itu.
Aku terus menerus merasa galau memikirkan tugas, kewajiban serta tanggung jawab yg aku emban dari awal bekerja sampai seterusnya. Kegalauan itu muncul ketika sistem kerja shift pada perusahaan tempat aku bekerja membuat waktu tidur, waktu makan, dan waktu istirahatku menjadi kacau.
Ketika orang2 sedang tertidur pulas aku harus bekerja shift malam hingga pagi. Ketika jam makan orang-orang aku harus tetap bekerja, harus mencuri sedikit waktu untuk bisa makan dan itupun harus standby di ruangan yg berisi rekaman cctv yg harus selalu dipantau. Ketika orang-orang berlibur bersama keluarga, Atau pacarnya, aku harus rela untuk bekerja. Saat hari libur aku hanya bisa menonton kebahagian customer yg datang di tempatku bekerja. Melihat mereka mengobrol bersama, bercanda dan juga berkumpul. Tak sedikit pula pasangan yg kerap bermesraan yg membuatku sedikit merasa iri. "Ya Allah.. disaat mereka semua asik berlibur dan bersenang2, mengapa hamba tidak libur juga, malah menjadi hari yg sangat sibuk dan melelahkan". Begitu pikirku. Namun aku seakan mendapat energy apabila ada customer yg ramah dan tidak neko2. Kira2 begitulah hari-hariku.
Disana aku memiliki 5 orang atasan.
1 Iwan manager utama
2 Michael manager 1
3 Melda manager 2
4 Desta manager 2
5 Jono manager junior
Semakin lama tanggung jawabku semakin banyak. Tak hanya mengurus produk, tetapi orang dan bertanggung jawab atas seluruh kelancaran alat2 yg ada di tempatku bekerja. Tak hanya itu aku juga berteman dengan tumpukan modul bantex yg berisi macam2 sistem dan manajemen perusaahaan yg harus kupelajari dan ku hapalkan.
Saat libur terasa sangat indah dan bernafas lega, bebas dari beban dan tanggung jawab, namun langkah terasa berat kembali ketika esok akan kembali bekerja. Beban2 pelajaran dalam bantex yg harus hafal dan tanggung jawab dalam tempatku bekerja membuat otak ini terasa begitu terbebani. Tak bisa aku membagi waktu kerja dan belajar. Mungkin bila aku bekerja tanpa beban belajar aku akan kuat, begitupun sebaliknya.
Melirik gaji yang tak sesuai padahal jabatan ku lumayan tinggi. Berat sekali rasanya untuk terus rela bekerja bak seorang guru (pahlawan tanpa tanda jasa). Disana aku dituntut untuk terus berkembang. Atasanku terutama Bapak Michael & Jono kerap kali mencaci saat aku melakukan kesalahan. Padahal kesalahan itu tidak sengaja dan juga tidak fatal. Masih bisa diselesaikan jadi tak seharusnya ada cacimaki. Padahal pada modul yg kita pelajari, kita diajarkan untuk mengingatkan atau menegur baik2 tanpa menjudge orang dengan kata "tolol, bodoh, lemot, payah, dsb". Tapi mengapa tingginya jabatan tak mengenal etika. Dengan mudahnya kata2 itu kerap terdengar saat terjadi kesalahan.
Ada pula manager (Jono) yg kerap kali menjatuhkanku didepan manager lain dengan berkata "kamu udah berapa lama sih kerja disini? Gitu aja ga apal2 salah terus. Kerja yg bener dong jgn cuma mau digaji doang!". Ditambah muncul teman baru diposisi yg baru saja naik 1 level dari posisiku. Sebut saja Munaroh Apalagi ia terlihat sekali ingin mendominasi disana, membuat tekadku semakin bulat untuk pergi jauh2 dari tempat itu.
Aku berkonsultasi ke manager 2 (Pak Desta). Telah ku curahkan segala unek2 yg ada dan ku katakan ingin mundur, tetapi beliau memberiku motivasi agar aku tetap semangat dan ia bersedia menjadi mentorku apabila aku tetap bertahan. Ia tak memaksaku, ia memberiku kebebasan untuk tetap bergabung atau mundur. Aku mulai semangat lagi dan bertekad maju kembali.
Esok hari aku memulai kembali hari indahku yg serasa tanpa beban karena telah kutumpahkan keresahan yg ada kemarin. Sayang sekali, hari itu Pak Desta yg berjanji akan menjadi mentorku bertukar shift dengan Munaroh. Ia berbaik hati pada Munaroh agar menggantikannya masuk shift malam.
Munaroh sungguh bukan teman baru yg ku inginkan kehadirannya, karena dia tlah merebut posisiku, dan merebut perhatian para atasanku. Aku hanya menyayangi teman lamaku Dewi yg telah menyerah lebih dulu dari aku.
Ditambah lagi hari itu lagi2 Jono membuatku kesal, lagi2 menjatuhkan aku depan teman2 kru. Selalu saja ada perdebatan dengan dia. Tetapi selalu ku lawan. Toh dia tidak jauh lebih pintar dariku, tak lebih hebat, ataupun cekatan dariku. Manager lain yg lebih tinggi jabatannya saja tidak sebegitunya.
Perlawananku kali ini adalah perlawanan terakhir. Aku tak ingin lagi berada seperti telur diujung tanduk yg tak jelas nasibnya. Entah akan ada yg menopang setelah jatuh, atau dibiarkan jatuh dan pecah seperti nasib Dewi.
Jam kerja tlah selesai. Setelah pulang, ku putuskan untuk tak kembali lagi. Esok harinya alarm yg biasa di setting, berbunyi. Waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Rasanya tekadku tlah benar2 bulat untuk tidak kembali. Ku abaikan saja bunyi itu dan kembali mengangkat selimut untuk melanjutkan tidurku yg selalu tak terpuaskan kemarin2.
Singkat cerita.
Tibalah akhir masa kerjaku dan ku putuskan untuk keluar dari kost agar tiada beban biaya yg harus ditanggung selama menganggur. Tak mengapa karena itulah jalan yg tlah kupilih. Aku berharap aku mendapatkan pekerjaan lain yg lebih baik dan sesuai passion.
Beberapa hari usai resign kerja, aku membawa keluarga ku untuk berpamitan dgn ibu kost. Kubereskan semua benda2 yg ada di kamar kost ku. Ibuku pun turut membantu packing, sementara itu ayahku menunggu di warung samping kostan. Alhamdulillah hari itu berjalan lancar begitupun dengan cintaku dgn Rangga.
Kebetulan Rangga juga mengaku bahwa ia sedang sibuk mengurus pindahan rumah. Hingga tak sempat apel dan mengajakku jalan. Minggu berganti minggu, Rangga masih saja sibuk dengan pindahannya. Aku sebagai pacar tentunya merasa kesal. Karena sekarang waktuku sudah banyak dan bulan itu pun calendar sedang banyak tanggal merah. Seharusnya kita bisa bertemu. Aku tak menuntut untuk harus pergi jalan2 jauh. Jika dia pintar harusnya dia menjemputku kerumahnya untuk membantu beres2.
Sulitkah itu? Aku tlah merelakan waktunya untuk kita sama2 menyelesaikan masalah kita sendiri2. Bukannya aku ini pacar yg egois, jahat, dan tak peduli, tetapi dia sendiri yg mengajariku seperti itu.
Kalau setiap tugas ataupun masalahku harus ku handle sendiri lalu untuk apa ada pacar?
Kalau selalu dilarang untuk menceritakan keluhan atas lelahnya hati ini, lalu untuk apa ada pacar? Bukankah pacar adalah tempat berbagi baik suka maupun duka? Kalau dia ingin di bantu, di pedulikan, dan dimengerti, lalu mana keadilan untukku???
Mana genggamannya saat aku juga butuh dia.
Kalau dia punya ego, mengapa aku tidak?
Aku juga sibuk untuk mencari kerja, hadir interview tanpa bermanja2.
Seperti magnet, kutub yg sama tak akan menyatu, saling mempertahankan arah masing2. Begitupun dengan dilema karir dan kisah cintaku yg terlanjur karam.
Kubiarkan kisah cintaku gantung ber minggu2 hingga kita sama2 lelah, sama2 tak peduli mau dibawa kemana hubungan kita. Ku hilangkan egoku untuk membuat segalanya kembali indah. Telah ku kirim sebuah pesan melalui whatsapp.
"Selamat malam. Maaf kalau mengganggu, aku cuma mau tanya kita ini apa? Thx".
balasannya:
"kamu pacar aku yg lg males sama aku kan!"
pembahasan merambat panjang hingga ia bilang orangtuanya jadi tak setuju lagi dengan hubungan kita. Sontak aku kaget kenapa bisa begitu. Apa ia tak berusaha mengangkat citraku depan orangtuanya. Apa mungkin ia banyak mengeluhkan hubungan dia denganku saat kita tak bertemu. Entahlah.. yg pasti semua tlah diakhiri dgn kesepakatan bersama. Saling menasehati dan blaaarr tiada kabar lagi.
Itu mungkin pelajaran untukku agar aku bisa mandiri, menghargai orang, patuh, mampu menjadi lilin di api.
Tak mengapa kini ku buka lembaran baru. Insya Allah, Allah mendengar doa hambanya. Mengenai karir dan jodoh ia-Lah yg mengatur. Semua adalah kuasaNya. :)